Tantangan RI Kembangkan Konsep Kota Pintar

Semua tergantung kepala daerah dan karekteristik setiap kota | PT Kontak Perkasa Futures

PT Kontak Perkasa Futures

Meskipun pemerintah pusat terus berupaya mengembangkan smart city, eksekusi tetap berada di tangan pemerintah daerah.

Darmin menilai, para pemimpin daerah pun harus memiliki komitmen kuat mengembangkan konsep smart city untuk meningkatkan kelayakan hidup masyarakat dan kenyamanan kota.

“Jangan lupa, kami tidak merencanakan. Karena, penguasa kota itu, pemerintah daerah dan penduduknya. Pemerintah hanya berbuat hal yang sifatnya nasional,” katanya.
Sejauh ini, DKI Jakarta, Bandung, dan Surabaya dianggap sebagai salah satu kota yang mulai mengembangkan konsep smart city. Daerah lain, ditegaskan Darmin, tentu tidak harus mengikuti konsep yang dimiliki ketiga wilayah tersebut.

Sebab, konsep smart city yang efisien, tentu akan mengacu pada karakteristik daerah tersebut.

“Surabaya misalnya, fokusnya e-government.

Nah, bisa menatanya dari apa? Apakah itu logistik, angkutan, atau yang lainnya. Masing-masing berbeda,” ujarnya.

Bahkan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pun telah menerapkan program kota cerdas berkelanjutan, yang menggunakan teknologi untuk memaksimalkan sumber daya kota.

Dengan begitu, diharapkan pengembangan smart city bisa direalisasikan.

“Dapat dibayangkan jika dari elemen teknologi dan komunikasi saja, sudah dapat meningkatkan produktivitas masyarakat, maka dampak negatif bisa diminimalisasi,” katanya.

Kementerian atau lembaga terkait, kata Darmin, pun saat ini tengah menyusun dan melaksanakan program menuju pembangunan smart city sesuai dengan sektor masing-masing.

Misalnya saja, Kementerian Perhubungan yang saat ini menerapkan Intelligent Transport System untuk menciptakan sistem pengaturan transportasi yang efisien.

Berbagai tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan smart city, di antaranya adalah ketimpangan digital. Dampak dari smart city tentu harus dirasakan seluruh pihak, agar tidak ada yang dirugikan baik dari sisi pekerjaan maupun tingkat kehidupan. Selain itu, dari sisi belum tersedianya infrastruktur pendukung.

Belum lagi, kualitas sumber daya manusia yang belum memadai dalam mengembangkan, maupun menjalankan sistem teknologi yang dibutuhkan untuk sebuah kota pintar. Sementara itu, yang terakhir, adalah penyesuaian infrastruktur eksisting yang nantinya terhubung dengan teknologi masa kini.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, membeberkan berbagai tantangan Indonesia mengembangkan konsep kota pintar atau smart city di berbagai daerah. Konsep tersebut, tidak hanya diperuntukkan bagi kota-kota besar, melainkan juga kota kecil agar menciptakan pemerataan.

“Tentu tidak mesti sama, satu kota dengan yang lain. Bisa berbeda. Nanti akan ada modelnya,” ujar Darmin, saat ditemui di Hotel Mulia, Jakarta, Jumat 19 Mei 2017.

Pemkot Harus Hadirkan Smart City | PT Kontak Perkasa Futures

 

Sebaliknya, kalau tidak bisa dikelola secara baik maka urbanisasi ini dampaknya akan buruk pada kota itu sendiri,” ujar Darmin.

Sehingg tidak ada pilihan lain untuk pemerintah kota agar menciptkan konsep smart city. Konsep ini juga mencirikan bahwa kota yang dihuni adalah kota modern.

Menurut Darmin, penataan dan pengelolaan melalui konsep smart city akan membuat masyarakat di kota bisa beraktifitas dengan kondusif. Konsep yang terintegrasi dengan segala kebutuhan masyarakat mampu meningkatkan produktivitas dan daya saing ekonomi. Sebab dalam konsep ini akan dihadirkan kemudahan dalam bentuk transportasi, sumber daya energi, finansial dan lain hal yang mampu menunjang taraf hidup masyarakat.

erdasarkan data badan pusat statistik (BPS), lanjut Darmin, diperkirakan pada 2025, 65 persen penduduk desa akan berpindah ke kota. Angka ini diestimasi akan mencapai 85 persen pada 2050.

Arus urbanisasi ini memiliki sisi negatif dan positif. Artinya urbanisasi bukan hanya dilihat dari perpindahan masyarakat desa ke kota. Namun, dari kota kecil berubah menjadi kota besar, yang bisa memberikan dampak baik bagi perkembangan kota tersebut.

Tingginya juah penduduk yang beranjak ke kota bisa berdampak positif bila kota yang ditinggali memiliki konsep yang baik. Kota tersebutharus dirancang sedemikian rupa agar kegiatan dan pelayanan di kota memberikan nilai tambah bagi masyarakat.

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, konsep kota pintar atau smart city sudah menjalah di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Meski belum banyak kota yang mulai menerapkan sistem ini di perkotaannya, namun perbaikan yang dilakukan pemerinta kota (pemkot) Surabaya, Makassar, atau Bandung telah digalakan.

“Mungkin masih di tahap awal. Tapi secara sistematis dilakukan mulai dari membangun sistem informasi untuk kepentingan pemkot maupun kepentingan pelayanan publik,” kata Darmin, Jumat (19/5).

Pemerintah kota (Pemkot) didorong untuk menghadirkan konsep smart city di daerah mereka. Konsep ini diharap mampu meningkatkan perekonomian masyarakat serta menjaga kondisi perkotaan tetap nyaman.

Urbanisasi tinggi, ketahanan pangan terancam | PT Kontak Perkasa Futures

Menurut Darmin, untuk melahirkan petani-petani yang berorientasi pasar, hal yang penting dilakukan adalah memberikan akses yang lebih luas kepada petani, salah satunya melalui pembangunan desa yang lebih mandiri.

“Basis utama dari desa mandiri ini adalah membangun infrastruktur pasar yang dapat mendukung peningkatan nilai tambah hasil produksi sektor pertanian. Di samping itu, dibutuhkan pula pembangunan fasilitas yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan utama petani di desa,” ujar Darmin.

Bila tidak ditanggulangi, meningkatnya angka migrasi desa ke kota akan membuat desa semakin dilupakan dan mengganggu ketahanan pangan.

Menteri Kordinator Perekonomian, Darmin Nasution menyatakan pemerintah tangah melakukan sejumlah langkah untuk kemandirian desa.

Petani, menurut Darmin, harus mulai diinisiasi untuk berorientasi pada pasar.

“Dari sini, kita harus mulai bergerak untuk melakukan transformasi pada petani-petani yang awalnya hanya bersifat subsisten menjadi lebih berorientasi pada pasar,” kata Darmin Nasution dalam keterangan tertulisnya, Jumat (19/5).

Salah satu penyebab laju migrasi ini adalah rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat desa yang sebagian besar berprofesi sebagai petani subsisten. Petani yang memilih tetap tinggal di desa tidak memiliki banyak pilihan, baik untuk memilih bibit, pupuk, alat mesin pertanian (alsintan), hingga penjualan hasil garapannya sendiri.

Bantuan pertanian yang datang ke desa pun terkadang tidak cocok dengan kebutuhan spesifik di daerah mereka. Sementara itu, di luar musim bercocok tanam, banyak petani subsisten mencari pekerjaan ke kota untuk menambah penghasilan, namun tidak jarang setelahnya tidak kembali lagi ke desa.

Laju urbanisasi yang terjadi beberapa tahun terakhir makin mengkhawatirkan. Laju migrasi penduduk desa di penjuru Indonesia mencapai 4% per tahun, salah satu yang tertinggi di dunia.

Diperkirakan, pada tahun 2025, sebesar 65% penduduk desa akan berpindah ke kota. Angka ini diestimasi akan mencapai 85% pada 2050.
PT Kontak Perkasa

Leave a comment